SELAMAT DATANG

Selamat datang dan nikmati berbagai informasi yang terdapat di dalam Blog pribadi saya ini. Anda diperbolehkan melakukan copy paste, asalkan menyebutkan sumbernya: Karolus kopong Medan (http://www.k2medan.blogspot.com).

Sabtu, 22 Januari 2011

Membangun Citra Polri


MENUJU POLRI YANG PROFESIONAL, 

TRANSPARAN DAN AKUNTABEL[1]

Oleh Dr. Karolus Kopong Medan, S.H,M.Hum[2]



KEMEROSOTAN citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan krusial  yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran dalam melayani masyarakat. Fenomena ini tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam tubuh Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), andaikata komitmen profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudkan dalam sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari. Fenomena yang demikian itu sebagaimana pernah diungkapkan oleh Budayawan Jaya Suprana (1995:1) dalam sebuah Seminar Nasional Polisi di Semarang, bahwa ”Nyaris tidak ada Surat Kabar yang tidak memuat artikel mengeritik polisi, mulai dari yang beralasan ilmiah sampai emosional pribadi. Tidak ada mulut yang mengomeli polisi”.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas selama beberapa tahun terakhur ini, terutama tahun 2003-2005, seolah membenarkan bahwa citra Polri di mata masyarakat memang belum begitu baik. Sekalipun secara umum hasil jajak pendapat Kompas tahun 2005 tersebut memperlihatkan bahwa citra Polri mengalami peningkatan yang kian positif (51%) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 40%, namun dalam hal penegakan supremasi hukum tampaknya citra Polri masih terpuruk di mata masyarakat. Berkaitan dengan pengusutan kasus-kasus korupsi, misalnya, tercatat sekitar 73,8% responden masih memendam kekecewaan terhadap kinerja Polri karena kekurangtegasannya dalam mengungkapkan dan memproses kasus korupsi. Kemerosotan citra Polri itu juga tampak dalam penanganan kasus-kasus HAM yang dinilai cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat (Sultani, 2006).
Pencitraan polisi yang bersifat negatif itu bukan hanya dilontarkan oleh masyarakat, melainkan juga oleh para pejabat teras di tubuh Polri sendiri. KAPOLRI Jendral Polisi Sutanto sendiri secara transparan menegaskan, bahwa kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak tanggap, diskriminatif dan kurang profe-ssional dalam menangani laporan pengaduan masyarakat ditambah lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum santun dalam memberikan pelayanan (Sutanto, 2006:2).
Sesepuh Polri Koesparmono Irsan juga secara terbuka mengakui adanya praktik korupsi yang sistematis dalam lembaga kepolisian. Tindakan korupsi sedemikian rupa menggerogoti institusi kepolisan hingga keropos. Keberadaan hak diskresi dengan memberi kewenangan polisi dalam mengambil keputusan di lapangan, menurut Koesparmono, membuka peluang bagi polisi untuk melakukan korupsi berupa negosiasi atau tawar-menawar dengan pelanggar atau pelaku kejahatan untuk memberi imbalan kepada oknum petugas (Santoso, 2004). Demikian pula Jendral (Pol) Hugeng Imam Santoso – yang juga adalah mantan Kapolri – pernah pula mengatakan bahwa polisi sekarang patah, gampang disogok, banyak terlibat dengan cukong-cukong dan kurang membantu masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan bantuan keamanan (Tabloid Detik, 1993).
Cuplikan pendapat para sesepuh Polri tersebut menunjukkan, bahwa kemerosotan citra Polri tersebut hampir merata di semua bidang tugas dan wewenangnya, termasuk dalam praktik penegakan  hukum. Ulasan berikut ini mencoba memotret citra Polri secara lebih seimbang sebagai batu loncatan untuk memperbincangkan lebih jauh upaya-upaya untuk membangun  aparat kepolisian yang profesional, transparan dan akuntabel.

Memotret Citra Polri
Gambaran tentang keterpurukan citra Polisi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, seakan membuka peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Suttherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun 1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut Suttherland sebagaimana dikutip oleh Tabah (1991:151-153), bahwa tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia kejahatan dan penjahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan.
Dampak negatif yang sering tak dimengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis, seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai pengayom, pelindung, penjaga ketertiban dan penegak hukum dengan kejahatan yang tengah ditanganinya. Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak hukum seperti polisi berperilaku menyimpang yakni (Tabah, 1991:151-153): (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk mendapatkan keteladanan dari lingkungannya.
Perilaku menyimpang polisi yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian belum menunjukkan hasil yang maksimal. Bahkan, sebaliknya secara potensial menampakkan aspek-aspek yang bersifat kriminogen. Steven Box (1983:81-82) mengidentifikasi sejumlah bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana antara lain: (1) membunuh atau menyiksa tersangka, (2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menerima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.
Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri disebutkan pula, bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan korupsi dan menerima suap, tidak saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan melanggar hukum. Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang melanggar hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan bukan sebagai penegak hukum (Polri, 2006:71).
Hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Cipta Insan Sejahtera – YCIS Kupang terhadap citra Polri yang dilansir Media Massa dan hasil identifikasi sejumlah Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) di Kota Kupang menunjukkan, sederetan kasus kriminal yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Beberapa kasus yang melibatkan oknum kepolisian di lingkup POLDA NTT di antaranya (YCIS, 2008): (a) kasus pembunuhan terhadap Cece (seorang pekerja Seksual – PSK) di Larantuka Kabupaten Flores Timur; (b) penembakan 4 orang warga sipil di Alor, penghamilan terhadap dua wanita Sumba Timur, tindakan amoral terhadap seorang anak tiri, penggebugan terhadap warga Tuak Daun Merah (TDM) Kota Kupang, hubungan mesum seorang Polwan (Polisi Wanita) dengan seorang perwira polisi di Kota Kupang, dan masih banyak yang lain.
Perbuatan-perbuatan biadab tersebut memang dilakukan oleh oknum polisi secara pribadi, tetapi secara tidak langsung juga telah mencoreng nama besar korps kepolisian sebagai sebuah institusi yang semestinya berdiri di garda terdepan dalam memerangi kejahatan dan berbagai penyakit yang meresahkan masyarakat. Kasus-kasus semacam itu semakin menarik, karena dilakukan oleh oknum-oknum yang adalah seorang oknum Polri yang semestinya bertindak sebagai pengayom, pelindung, penyelamat, dan penegak kebenaran dan keadilan.
Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pengebirian etika jabatan. Menurut Abdul Wahid (1993:34), tindakan yang demikian itu sebagi akibat dari kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan dianggap sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau menarik kedudukan yang terhormat di mata publik.
Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo (Kopong Medan dan Rengka, 2003:173-177 & 168-172), dapat saja didorong masuk ke jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti itu memberikan ruang yang luas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi kalangan tertentu. Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat, bahwa hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah sedang bekerja untuk menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?
Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik-praktik ”kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan belaka bila Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar apabila kita menilai, bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan dari Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya berdiam diri saja (Razak, 2006). Pengakuan yang sama pernah pula diungkapkan oleh Jend. Pol. (Purn) Kunarto (1996:7), bahwa tindakan perbuatan, karya, hasil kerja polisi yang baik itu masih sangat besar ketimbang yang bernilai negatif. Bukti dari pernyataan itu adalah bahwa pembangunan yang berhasil dijalankan dewasa ini mustahil dapat dicapai tanpa kondisi aman, dan yang menjadi pilar utama dari kondisi aman tersebut adalah Polri.
Hasil survei YCIS Kupang (2008) memperlihatkan sejumlah hasil kerja Polri di lingkup POLDA NTT yang bernilai positip, yakni: (1) mengungkap kasus foto bugil siswa SMAN di Kupang (Pos Kupang, 14 Maret 2008), (2) mengungkap sindikat ijazah palsu di TTS (Pos Kupang, 18 Juli 2008); (3) membongkar sindikat kasus shaabu-shabu di Kupang awal maret 2008 yang melibatkan Laiskodat (Pos Kupang, 10 Juli 2008); (4) mengungkap sindikat jual beli mobil curian yang melibatkan aparat kepolisian di Sumba Timur (Buser Timur, edisi 173/Tahun V/Minggu III/Mei 2008; Pos Kupang, 2 Mei 2008. Ini hanyalah sekelompok kecil contoh kasus yang menunjukkan keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sekalipun demikian, deretan keberhasilan Polri tersebut rupanya belum mampu menggeser pandangan masyarakat tentang kenerosotan citra Polri yang kian memprihatinkan.

Mendambakan Profesionalisme Polri
Harapan akan tampilnya Polisi yang profesional[3] dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia dan lebih khusus lagi masyarakat NTT. Tumpuan harapan diletakan di pundak posisi, karena peran yang dimainkannya sangat komperhensif mencakup perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.
Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui ”pengalaman latihan” untuk berpraktik seorang polisi profesional, dan latihan tersebut harus sejalan dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan masyarakat.
Kriteria untuk menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya sangat banyak (puluhan), namun menurut Lavine (1977:33 dst) sebagaimana dikutip oleh Muladi (1995), terdapat beberapa karakteristik dasar, seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of competence (via exAM, etc); (4) organization (into profesional association), adherence to a code of conducti; (5) adherence to a code of conduct; and altruistic service.
Secara lebih specific Komisaris Besar Polisi Purnawirawan M. Karyadi dalam Sumaryono (1995:160-164) menegaskan, bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentosa dan sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang ”tatatentrem-kertaraharja”, maka lahirlah jiwa Polri yang insyaf akan pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIRATA”, yaitu: (1) berbakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakan hokum Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan Pancasila dan UUD-1945; (3) senantiasa melindungi, mengayoi, dan melayani masyarakat dengan keiklasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Ketiga asas Polri tersebut dapat disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada” diharapkan dapat diterapkan dalam tugas professional seorang anggota polisi.
 Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi tersebut, Muladi (2002:276), kemudian menegaskan bahwa kredo yang sebaiknya dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat dikur dan dirasakan, seperti meningkatnya kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, penyelesaian konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik.
Dengan demikian, citra positif dari polisi pun akan melekat di benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dana adil, sebagai tokoh panutan dalam menghadapi persoalan di masyarakat. Menurut Achmad Ali (1998:221), sebenarnya citra polisi di mata masyarakat juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat, misalnya, masyarakat dan pers terlalu cepat mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya.
Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme sebagaimana di uraikan di atas, maka aparat kepolisian di mana pun berada dalam menjalankan profesinya mau tidak mau harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat), dan the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society – menurut Rahardjo, (1998:5; 2002:41-42) - adalah doktrin kekuasaan yang menunjukkan posisi polisi dalam jenjang vertikal ketika berhadapan dengan lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya. Dalam konteks yang demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat bersifat “atas bawah” atau “hirarkhis”, di mana polisi ada pada kedudukan memaksa, sedangkan rakyat wajib mematuhinya (Rahardjo, 1998:5; juga dalam Rahardjo, 2002:41-42).
Sementara doktrin the soft hand of society menurut Rahardjo (1998:5; juga 2002:41-42) - adalah “kemitraan dan “kesejajaran”, di mana polisi dan rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat “horisontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani rakyat. Contoh dari tugas yang demikian itu antara lain membantu menyelesaikan perselisihan antara warga masyarakat, memebina ketertiban, memelihara keamanan, ketertiban lalu lintas, dan keselamatan jiwa raga, harta benda.
Dengan demikian sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, menurut Rahardjo (1998:5-6; juga 2002:42), secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil dibbandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif. Sementara Djamin (1986) menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (Binmas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif. Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emptif ketimbang represif.
Mengingat peran yang demikian oleh Polri secara komperhensif seperti itu (represif-prefentif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegakan hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan restoratif). Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win-solution. Pemikiran ini dapat dibaca dalam Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem Keadilan restorative Justice”.
Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh “budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di Indonesia.
Selain strategi pemantapan cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumberdaya Polri yang terprogram secara baik. Program pendidikan/pelatuhan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan pengembanagan kemampuan umm/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang demikian itu dapat dilakukan melalaui penyelenggaraan kerjasama pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang melekat pada setiap satuan organisasi maupun dengan memanfaatkan teknologi pendidikan (Renstra Polri 2005-2009:26).
Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak berarti bahwa seorang Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan kemampuan profesional teknis semata, tetapi menitikberatkan pada rancang bangun komunikasi yang baik dengan masyarakat dalam upaya untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan model pendekatan yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi dalam lingkungannya,

Transparansi dan Akuntabilitas Polri
Selain profesionalitas, citra Polri di mata masyarakat juga dapat diperbaiki dengan melaksanakan praktik penegakan hukum secara transparan dan akuntabilitas. Di dalam Rencana Strategi Polri (Renstra Polri) 2005-2009 secara tegas dinyatakan, bahwa strategi yang dipandang tepat untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri adalah dengan mengupayakan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan penegakan hukum. Transparansi penegakan hukum tersebut berorientasi pada masalah keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity), serta tidak diskriminatif. Sedangkan, masalah akuntabilitas (accountable) Polri dalam melakukan penegakan hukum berorientasi pada sistem yang dapat ditelusuri jalurnya secara logis (traceable), dan dapat diaudit dan diperbaiki (aauditable) mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri ((Renstra Polri 2005-2009:11).
Berbagai upaya yang telah diprogramkan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, antara lain: (1) menggalang komintmen Polri di semua tingkat untuk menjalankan tugas dan wewenangnya secara transparan, akuntabel dan profesional. Penegasan komitmen tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kontrak sosial antara Polri dengan publik; (2) membuat laporan kinerja (“rapor”) yang disampaikan secara rutin kepada publik (DPRD); (3) membuat open house secara rutin agar warga masyarakat dapat memberikan masukan demi perbaikan kinerja dan cara kerja Polri; (4) membuat sistem pengaduan yang baik dan mudah diakses, menciptakan sistem komunikasi secara efektif dengan warga, membuat komisi kepolisian di tingkat daerah, dan lain sebagainya (Grand Strategis Menuju 2005-2025).
Persoalan krusial yang cenderung memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum pada umumnya, termasuk Polri adalah adanya kesan seolah-olah Polri bertindak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Salah satu indikator yang sering dipakai oleh warga masyarakat untuk menilai tindakan Polri adalah tentang perlakuan terhadap warga masyarakat biasa dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Warga masyarakat sering mempertanyakan, mengapa orang-orang yang memiliki power yang besar itu begitu sulit dijamah oleh hukum, sementara orang-orang kecil yang melakukan pelanggaran hukum akan dengan mudah digelandang ke hadapan penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Selain itu, adanya kewenangan yang demikian besar bagi Polri untuk melakukan diskresi juga dapat menjadi bumerang bagi Polri untuk tidak dipercaya oleh masyarakat. Situasi ketidakpercayaan itu bisa muncul andaikata tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pihak Polri itu sendiri. Apalagi kalau kewenangan tersebut justru dimanfaatkan untuk menutup-nutupi kasus-kasus kriminal tertentu demi melindungi orang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, masyarakat juga berhak tahu mengapa dalam kasus kriminal tersebut dilakukan diskresi dan kalau perlu masyarakat juga diberikan kesempatan untuk menelusuri kebenaran dari diskresi tersebut.
Tidak bisa diingkari bahwa penggunaan kekuasaan secara diskresi seperti itu memiliki kecenderungan yang sangat kuat dan peka dari penilaian-penilaian dan prasanka-prasangka yang negatif terhadap kepolisian. Oleh karena diskresi yang dilakukan itu lebih mengandalkan pertimbangan dan keputusan pribadi, maka tidak mustahil akan muncul pertanyaan tentang apakah diskresi yang diambil itu tergolong sah atau legitimate, ataukah tergolong diskresi yang tidak adil atau diskriminatif (Indarti, 2000:61).
Sekalipun ada nada-nada sumbang yang meragukan praktik-praktik diskresi yang dilakukan oleh Polri, namun Satjipto Rahardjo mengingatkan, bahwa oleh karena hukum itu dirumuskan secara umm dan abstrak sementara pemolisian bukanlah pekerjaan yang abstrak, sehingga wajar bila Polri kemudian diberi kewenangan untuk membuat penafsiran dan pilihan-pilihan hukum inoptima forma. Salah satu institusi untuk mewadahi perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi (Rahardjo, 1995:9-10). Namun, langkah yang ditempuh oleh Polri tersebut harus ditunjang oleh adanya transparansi dan akuntabilitas agar tidak menyimpang menjadi sesuatu yang “tidak adil” atau diskriminatif.+++




[1]Disampaikan dalam Konsultasi Publik dalam Rangkan Menetapkan Arah Kebijakan Perpolisian  yang dilaksanakan pada tangal 23 Juli 2008  di Hotel kritas Kupang atas kerjasama Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Fakultas Hukum Undana, dan Yayasan Cipta Insan Sejahtera (YCIS) Kupang.
[2]Dosen tetap Fakultas Hukum dengan tugas tambahan Pembantu Dekan I Bidang Akademik Fakultas Hukum Undana Kupang.
[3]Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaris, wartawan, dosen, insinyiur, pengacara, psikolog, dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan bertugas di suatu korporasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar