SELAMAT DATANG

Selamat datang dan nikmati berbagai informasi yang terdapat di dalam Blog pribadi saya ini. Anda diperbolehkan melakukan copy paste, asalkan menyebutkan sumbernya: Karolus kopong Medan (http://www.k2medan.blogspot.com).

Jumat, 28 Januari 2011

Komentar di Media 5


PETANI NOELBAKI KELUHKAN
ALIH FUNGSI LAHAN

Spirit NTT No. 180 Thn IV, Edisi 12-18 Oktober 2010
Senin, 19 Oktober 2010/12:38 WIB

KUPANG, SPIRIT--Sebanyak 240 petani sawah di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, mengeluhkan alih fungsi lahan baik oleh petani maupun pemerintah daerah, mengakibatkan lahan persawahan berubah menjadi pemukiman, perkantoran dan industri.
"Dari sekitar 385 hektare lahan potensi sawah yang ada di Desa Noelbaki, sekitar 10 hektare sudah terlanjur beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk dan industri yang mencemarkan lingkungan," kata Ketua Kelompok Tani Rindu Sejahtera Kupang, Semuel D Tallo Mesakh, di Kupang, Senin (5/10/2010).
Mesakh mengeluhkan hal itu ketika bertemu dengan tim penelitian Hibah Strategis Nasional kerja sama Fakultas Hukum (FH)-Undana Kupang dengan Dirjen Dikti Depdiknas yang dipimpin oleh Ketua Tim Peneliti, Dr Karolus Kopong Medan, S.H, M.Hum di lokasi persawahan Noelbaki, sekitar 18 kilometer arah timur Kota Kupang.
Menurut Mesakh, akibat peralihan itu, saat ini telah berdiri sekitar 30 lebih bangunan rumah, terminal bus dan lokasi perkantoran pemerintah di atas lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi pertanian. "Kami menyesalkan tindakan dan kebijakan yang mengancam usaha pokok kami sebagai petani sawah, di mana hidup kami bertumpu pada penghasilan dari sawah-sawah yang setiap tahun dua kali dipanen itu," katanya.
Bukan cuma bangunan rumah, katanya, terminal bus dan perkantoran, serta rumah-rumah penduduk sudah dibangun di atas lahan seluas 10 hektare di persawahan Kali Dendeng. "Saat ini ada sekitar tujuh bangunan rumah, satu bangunan kantor LSM, satu gedung penggilingan padi, tujuh bangunan kios telah berdiri di atas lahan potensial untuk persawahan itu," katanya.
"Saat ini juga dalam tahapan final rencana bangunan rumah toko (Ruko) dan SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum)), walaupun mendapat protes keras dari warga yang adalah petani sawah di wilayah ini, namun sepertinya protes kami tidak digubris," kata Mesakh.
Kepada tim peneliti FH Undana yang terdiri atas Sukardan Aloysius, S.H, M.Hum, Rafael R Tupen, Darius Mauritsius, S.H, Bill Nope, S.H, Tarsisius Bali Dason serta Maudy Taopan, para petani sawah ini meminta untuk difasilitasi dari aspek hukum agar pengeluhan ini ditindak lanjuti ke proses hukum.
"Kami merasa sangat dirugikan dengan praktek ini, karena di tengah pemerintah Propinsi NTT menggalakkan berbagai program untuk kesejahteraan masyarakat petani dengan pemberdayaan potensi lokal, pada saat yang sama ada alih fungsi lahan," katanya. (ant)

Selasa, 25 Januari 2011

Komentar di Media Massa (4)

Reformasi Polri Setengah Hati 
Jumat, 19 November 2010

gayus1
Kupang - Pengamat hukum dan antropologi sosial dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Karolus Kopong Medan menilai reformasi di tubuh Polri masih berjalan setengah hati.
Akibat reformasi setengah hati, polisi mudah tergoda dengan uang seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
"Reformasi yang selama ini dikumandangkan Polri masih berjalan setengah hati sehingga belum membawa perubahan terhadap perilaku oknum anggota Polri dalam menjalankan tugas pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat," kata Kopong Medan di Kupang, Jumat (19/11).
Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini mengemukakan hal itu menanggapi upaya reformasi di tubuh Polri terkait dengan kaburnya tersangka kasus korupsi Gayus Tambunan dari tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat.
Kopong Medan yang juga peneliti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tingkat daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, mengatakan maraknya berbagai kasus besar yang kemudian menyeret sejumlah pejabat Polri ke lingkaran permainan tersebut, menunjukkan bahwa reformasi di tubuh Polri masih berjalan setengah hati.
Kopong menjelaskan konsep reformasi yang selama ini didesain untuk mereformasi Polri, terutama berkenaan dengan aspek struktural, performans dan budaya kepolisian belum memberikan implikasi yang memadai kepada perubahan perilaku aparat kepolisian.
"Masih banyak aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam kasus suap, kriminalitas, konspirasi atau persekongkolan jahat, perlakuan dikskriminatif dalam pelayanan kepada masyarakat, meloloskan penjahat dari jeratan hukum, dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh kasus yang mencoreng citra Polri," katanya.
Lolosnya aktor mafia pajak Gayus Tambunan yang bebas keluar-masuk Rutan Markas Komando Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, menunjukkan bahwa reformasi internal Polri perlu lebih serius dan lebih ditingkatkan.
"Lolosnya Gayus Tambunan ke Singapura, kemudian setelah ditangkap dan masuk penjara kemudian sengaja diloloskan untuk pelesiran di Bali, sesungguhnya secara kasat mata orang tetap berkeyakinan akan adanya konspirasi jahat antara aparat kepolisian dengan para tahanan," katanya.
"Mana mungkin seorang Gayus yang dikurung dalam ruang tahanan sempit dan terkunci bisa lolos keluar menghirup udara bebas di luar kalau tidak ada konspirasi untuk itu. Sehebat apa pun Gayus mengibuli aparat kepolisian, tetapi tetap saja orang akan membaca adanya konspirasi," tambahnya.
Kejadian tersebut, kata Kopong Medan, sungguh memalukan dan justru sangat menurunkan wibawa institusi kepolisian di mata masyarakat.
"Bukan soal ada suap atau tidak dalam kasus Gayus ini, tapi yang paling penting telah terjadi konspirasi jahat yang sungguh-sungguh memalukan dan justru membuat gerakan reformasi di tubuh Polri menjadi tidak bermakna apa-apa," katanya.
"Kalau kita ingin agar reformasi di tubuh Polri itu benar-benar menukik sampai pada perubahan perilaku aparat kepolisian, maka dibutuhkan ketegasan, konsistensi dan transparansi dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian," katanya menegaskan.
Menurut dia, jika ada aparat kepolisian bahkan petinggi Polri sekalipun yang teridikasi terlibat dalam kasus tindak pidana, jangan segan-segan untuk memrosesnya, dan jangan memberi kesan ada upaya untuk melindungi pihak-pihak tertentu.
"Tanpa ada upaya ke arah perubahan perilaku aparat kepolisian, saya kira kita tidak perlu bicara lagi soal reformasi Polri. Karena, reformasi Polri yang sesungguhnya adalah perubahan perilaku atau perubahan sikap dan tindak aparat kepolisian," katanya.
Menurut dia, dibalik kasus ini, ada persoalan lain yang lebih besar yang menyangkut lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan yang sejak reformasi 1998 hingga saat ini belum berhasil dibenahi.(ant/waa)

Sabtu, 22 Januari 2011

Komentar di Media Massa (2)


MASALAH  DI  INTERNAL  POLRI
PERLU PENANGANAN SERIUS

Antara News,  29 maret  2010

Kupang (ANTARA News) – Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. Karolus Kopong Medan,  mengatakan isu kejahatan di internal Polri harus ditangani secara serius dan transparan, karena akan berdampak buruk dalam penanganan kasus kejahatan di masyarakat.
“Kredibilitas Polri saat ini telah merosot jauh dan tentunya akan berdampak pada ketidaktakutan orang untuk melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat, termasuk melakukan kejahatan sekalipun,” kata Karolus Kopong Medan, di Kupang, Minggu, terkait dengan dampak `perang` di internal Polri terhadap penanganan kasus-kasus kejahatan di masyarakat.
Menurut dia, Polri harus menyadari bahwa masalah ini akan merusak citra Polri dan karena itu harus ada kesungguhan untuk menyelesaikan kekisruhan internal ini secara baik, agar tidak menimbulkan mosi tidak percaya dari masyakarat terhadap kinerja kepolisian.
“Bagaimana mungkin Polri dapat menyelesaikan kasus kejahatan di masyarakat, kalau persoalan yang melilitnya tidak ditangani secara baik. Ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat,” katanya. Apalagi persoalan yang dituduhkan kepada Polri adalah soal `markus-markus` yang bergentayangan di lingkungan Polri yang diduga melibatkan sejumlah perwira tinggi polri.
Dia menambahkan, mestinya pengawas internal Polri bisa mengambil peran untuk mengungkap tuntas kasus `markus` ini dan membawanya kepihak yang berwenang. Hal ini karena tuduhan mengenai adanya `markus` di tubuh Polri ini melibatkan sejumlah petinggi Polri.
“Memang lebih baik kalau ada tim lain yang menyelesaikan masalah di internal Polri sendiri, karena apa pun yang dilakukan Polri dalam menangani masalah ini tetap dinilai ada unsur keberpihakan,” katanya. (B017/K004)

Karolus Kopong Medan: Potret Sebuah Diskusi di Adonara

Karolus Kopong Medan: Potret Sebuah Diskusi di Adonara: "GENGSI SEBUAH “DISKUSI KAMPUNG” Oleh : Dr. Karolus Kopong Medan, S.H,M.Hum Luar biasa....!!! Kata-kata itulah yang mungkin paling tepat..."

Komentar di Media Massa (1)

KOMPOLNAS: REFORMASI POLRI
CUKUP MENGGEMBIRAKAN

Antara, 25 September 2010

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas, menilai reformasi di tubuh Polri, khususnya di Polda NTT cukup menggembirakan. Koordinator Tim Peneliti Daerah Kompolnas wilayah NTT Dr Karolus Kopong Medan SH.MHum di Kupang, Sabtu, mengatakan kesuksesan jalannya reformasi di bidang struktural, instrumental dan kultural itu diukur berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Polda NTT.
Kopong Medan yang juga Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengatakan hal ini ketika mempresentasikan hasil penelitian dalam bentuk Focus Grup Discussion (FGD) kepada komponen akademisi, LSM, Polri, Pers, aktivis perempuan dan komponen terkait lain.  
Ia mengatakan dalam penelitian yang diarahkan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh reformasi Polri di bidang struktural, instrumental, dan kultural terhadap potensi, kompetensi dan performa Polri, sekitar 50 persen lebih dari 200 responden yang ditemui memberikan jawaban dan penilaian positif terhadap reformasi tersebut.
Dalam pemaparan yang didampingi Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Dr. Frans Rengka SH.MH selaku mederator FGD menyebutkan, dari aspek potensi Polri yang meliputi perencanaan anggaran, pembinaan SDM, penyediaan sarana dan prasarana, masih minim dan menjadi kendala yang memengaruhi kompetensi dan performans Polri.
Dia mengatakan kompetensi Polri yang meliputi peningkatan profesionalisme dan pemantapan kemandirian belum seutuhnya berjalan bagus, karena banyak anggota Polri belum memilki kualifikasi pendidikan memadai.
Sementra performa Polri yang terdiri atas penggunaan wewenang, pembangunan integritas/bersih dari korupsi, pemberian pelayanan publik, perlakuan yang adil atau tidak diskriminatif, dan penerapan diskresi masih nampak terjadi di sejumlah wilayah tugas Polri, meski jumlahnya semakin menurun dan secara umum telah berjalan baik.
Menurut dia, sekalipun hasil penelitian tersebut menunjukkan Polri sudah melakukan pekerjaan besar dengan melakukan reformasi internal, masih tetap saja menyisahkan sebuah pertanyaan kritis yang mengganggu pikiran publik. "Pertanyaan kritis dan sekaligus merupakan sebuah keraguan akademik inilah melatari Kompolnas bekerja sama dengan tim peneliti daerah yang berkompoten melakukan penelitian ini," katanya.
Penelitian ini juga dilatari pula oleh munculnya berbagai kasus  besar yang melibatkan oknum Polri, mulai dari kasus Anggodo sampai mafia pajak dan isu rekening milyaran rupiah yang melibatkan beberapa petinggi Polri.
Sementara itu Koordinator Tim Peneliti Pusat Kompolnas Prof. Erlyn Indariti, SH.MA,Ph.D, pada kesempatan itu mengatakan kebijakan Kompolnas melakukan penelitian ini untuk mengetahui apakah dengan langkah-langkah reformatif tersebut, Polri kini sudah sangat profesional dan benar-benar menjadi polisi sipil.   
Menurut Prof Erlyn, secara nasional penelitian ini dilakukan di empat Polda yaitu Polda Kepulaluan Riau, Polda Bali, Polda Kalimantan Selatan, Polda NTT. Khusus Polda NTT, katanya, penelitian ini dipusatkan di empat Polsek yang termasuk dalam wilayah Polres dan Polresta Kupang yakni Polsek Alak dan Polsek Maulafa serta Polsek Kupang Timur dan Polsek Takari.+++

Karolus Kopong Medan: Eksistensi Masyarakat Adat

Karolus Kopong Medan: Eksistensi Masyarakat Adat: "PENGAKUAN BERSYARAT TERHADAP MASYARAKAT ADAT DALAM HUKUM NEGARA Oleh : Dr. Karolus Kopong Medan, SH. M.Hum. ABSTRAK: Tulisan ini menar..."

Membangun Citra Polri

Selasa, 18 Januari 2011

Quo Vadis Masyarakat Adat

Q
TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT :
PERSPEKTIF HUKUM ADAT[1]
Dr. Karolus Kopong Medan, S.H,M.Hum[2]


SEMINAR bertajuk “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”  yang kita laksanakan hari ini sungguh menggugah kita sekalian untuk berpikir lebih serius lagi tentang esensi yang sesungguhnya dari tanah beserta sekalian sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah memiliki peran yang sangat vital bagi manusia dalam level mana pun, baik yang kaya dan miskin, yang modern dan tradisional, yang tua dan muda, yang laki-laki dan peremuan, dan lain sebagainya. Bahkan, harus diakui pula bahwa tempat peristirahatan terakhir bagi seluruh makluk hidup di dunia adalah tanah. Mungkin suatu waktu pemikiran seperti ini bisa saja bergeser, andaikata ke depan planet Bulan juga sudah bisa difungsikan sebagai wadah hunian umat manusia.
Oleh karena begitu vitalnya esensi dari tanah itu, maka wajarlah apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku orang nomor satu di negeri ini, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, Ph.D memiliki kepedulian yang sangat besar dalam memaksimalkan fungsi tanah untuk sebesar-besarnya demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Apa yang diperjuangkan itu sesungguhnya sudah menjadi jiwa dari Pancasila dan UUD 1945 serta Undang-Undang pokok Agraria (UUPA), bahwa politik dan kebijakan pertanahan di Indonesia diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Politik, arah dan kebijakan pertanahan nasional yang demikian itu sungguh memberikan beban yang sangat berat kepada BPN-RI selaku lembaga pemerintah yang diberi tugas khusus menata pertanahan di negeri ini (BPN-RI, 2010:42-43).  Beban yang sangat berat, karena di satu sisi BPN-RI diharuskan untuk memberikan kontribusi dalam kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sementara di sisi yang lain, BPN-RI juga dituntut untuk menjamin keberlanjutan kehidupan dan harmoni sosial dengan meminimalkan sengketa-sengketa yang berkenaan dengan pertanahan. Itu artinya, BPN-RI dituntut untuk menata pendayagunaan tanah untuk sebesar-besarnya keadilan dan kesejahteraan rakyat tanpa harus menimbulkan efek-efek sampingan berupa konflik-konflik sosial baik secara horisontal antar warga masyarakat maupun secara vertikal antara warga masyarakat dengan pemerintah.
Langkah-langkah yang dikerjakan oleh BPN-RI seperti itu terasa sangat ideal, tetapi pada aras praksis pasti akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang rumit, terutama ketika kita mencoba memperhadapkan tatanan hukum adat dengan tatanan hukum negara yang mengatur tentang pertanahan atau agraria pada umumnya. Memang harus diakui bahwa politik hukum agraria nasional telah menetapkan, bahwa hukum agraria (termasuk hukum pertanahan) yang tertuang dalam UUPA berlandaskan pada hukum adat. Namun, persoalannya adalah apakah penjabaran dari hukum agraria (hukum pertanahan) nasional, mengikuti prinsip-prinsip hukum adat.
Persoalan ini tentunya akan menukik sampai kepada eksistensi masyarakat adat dalam memberikan kontribusinya bersama-sama negara untuk memaksimalkan fungsi tanah beserta segala sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya demi kesejahteraan rakyat. Uraian berikut ini akan mencoba memaparkan eksistensi hukum adat dalam mengatur dan mendistribusi peran masyarakat adat dalam pengelolaan hak-hak keulayatan untuk kesejahteraan komunal. Paparan ini juga menjelaskan lemahnya posisi masyarakat adat di hadapan negara dengan menampilkan kasus pengingkaran hak-hak masyarakat adat di NTT. Tulisan ini diakhiri dengan menawarkan sebuah model pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya secara kolaboratif antara negara (pemerintah) dengan masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Hukum Adat Pertanahan: Berorientasi Komunalitas
Jika dicermati kebijakan yang dicanangkan oleh negara (pemerintah) untuk menjadikan tanah sebagai sumberdaya vital dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat itu sesungguhnya sejalan tuntutan-tuntutan dalam hukum adat yang selalu berorientasi pada “kepentingan komunal” atau “kepentingan bersama”, terutama dalam persekutuan masyarakat adat. Orientasi hukum adat (pertanahan) yang demikian itulah yang kemudian muncul konsep “hak ulayat” di mana masyarakat adat memiliki peran yang sangat penting strategis dalam penguasaan dan pengelolaannya.
Pada dasarnya hak ulayat adalah hak menguasai yang dipegang oleh masyarakat adat atas tanah, hutan, laut, dan lingkungan hidupnya (Wamebu, 1996:1). Hak ulayat atau hak komunal itu pada berbagai suku di Indonesia sesungguhnya berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber pemenuhan kebutuhan taktis, sumber dana untuk penyelenggaraan  hajatan adat (‘tuntutan adat’). Secara konseptual keberadaan hak ulayat juga dimaksudkan sebagai sarana penting untuk memelihara keberadaan upacara-upacara adat yang merupakan sendi-sendi utama kebudayaan mereka (Zakaria & Soehendra., 1995:15). Demikian pula menurut Rizal (2003), hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah di mana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal untuk mempertahankan hidup dan tempat berlindung yang bersifat magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak memperoleh bagian tanah dengan batas-batas tertentu untuk dikerjakan atau dikelola demi kelangsungan hidupnya.
Konsep hak ulayat yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa masyarakat adat di mana pun berada, tanah  tidak hanya dilihat sebagai benda yang berfungsi ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya, dan spiritual. Bahkan, lebih jauh dari itu tanah bagi orang Lamaholot pada umumnya, terutama masyarakat Adonara di Kabupaten Flores Timur, justru diyakini sebagai simbol seorang wanita (Inawae, kewae) atau seorang ibu (Ina) yang menghidupkan seluruh warga kampung, suku, dan seluruh anggota keluarga. Pandangan demikian itulah yang kemudian mendorong orang Adonara terus berjuang untuk mempertahankannya dengan cara apa pun termasuk dengan cara kekerasan sekalipun (Kopong Medan, 1997 dan 2001).
Secara umum Purbacaraka dan Halim (1993) maupun Syahyuti (2006:16) membagi hak atas tanah adat yang terdapat di berbagai suku di Indonesia menjadi dua bentuk, yakni “hak ulayat” dan “hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan dan hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagaian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut untuk sementara waktu. Seseorang diperbolehkan mengelola serta menguasai sebidang tanah dari hak ulayat tersebut untuk mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaan atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, yang biasanya terhadap tanah sawah atau ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu lama.
Sedikit agak berbeda dengan pandangan tersebut, Van Dijk dalam Kaban (2004) dan Syahyuti (2006:16) membagi hak-hak atas tanah adat menjadi tiga bentuk, yaitu hak persekutuan atau hak pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaan antara ketiga bentuk hak atas tanah adat tersebut adalah sebagai berikut:
(1)       Hak persekutuan atau hak pertuanan atas tanah mempunyai akibat secara keluar dan ke dalam. Akibat ke dalam antara lain memper-bolehkan anggota persekutuan (etnik, subetnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah beserta segala yang ada di atasnya, seperti mendirikan rumah, berburu maupun mengem-balakan ternak untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, tertapi tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan akibat keluarnya adalah melarang orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan membayar uang pengakuan (recognitie), serta menyetujui larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat.
(2)       Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), di mana tenaga dan usaha dari yang bersangkutan telah terus-menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Dengan demikian kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak perorangan inidapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya.
(3)       Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesartuan etnik, namun saetiap orang diperbolehkan untuk memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaaman di atas tanah tersebut.
Dari penelusuran berbagai referensi, Zakaria dan Suhendra (1995:15) memper-kirakan bahwa asal usul konsep hak ulayat bersumber dari kebudayaan “Melayu”. Secara konseptual, hak ulayat  itu dimiliki oleh masyarakat yang berklen (clen), dan masyarakat yang berklen tersebut berasal dari sistem kekerabatan unilateral (matrilineal atau patri-lineal). Landasan-landasan kekerabatan itulah yang kemudian memunculkan pengertian hak ulayat.
Sahyuti (2006:16-17) maupun Thalib (1985) mensinyalir bahwa tanah ulayat pada masyarakat suku Minangkabau terbagi atas “tanah ulayat nagari”, “tanah ulayat suku”, dan “tanah ulayat kaum”. Ketiga jenis tanah ulayat ini oleh orang Minangkabau disebut sebagai “tanah pusaka tinggi”, sedangkan di luar itu di kenal “tanah pusaka rendah”, yaitu tanah-tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian, hibah, atau karena membuka lahan sendiri (menaruko). Perbedaan ketiga jenis tanah ulayat tersebut adalah sebagai berikut:
Tanah ulayat nagari adalah tanah-tanah di mana terdapat di dalamnya hak penduduk satu kesatuan “nagari”, yang pengelolaan atau pendistri-busiannya dikuasakan kepada penghulu nagari yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN). Tanah ini ada yang berbentuk fasilitas umum, juga ada yang masih berupa rimba sebagai cadangan lahan untuk dibuka suatu saat ketika penduduk nagari sudah membutuhkan.
Tanah ulayat suku  adalah tanah-tanah yang dukasai dan dikelola oleh suatu suku secara turun-temurun, yang pengaturannya dikuasai oleh penghulu suku yang bersangkutan.
Selanjutnya tanah ulayat suku, dalam perkembangannya dapat menjadi tanah ulayat kaum, yang penggunaannya terbagi dalam keluarga-keluarga separuk yang lingkupnya lebih kecil lagi.
Sebagaimana pada suku Minangkabau, masyarakat Dayak juga mengenal pola penguasaan yang berjenjang yang hampir sama persis. Syahyuti (2006:17) maupun Jamal, dkk. (2001) menemukan, bahwa kepemilikan tanah adat menurut hukum adat Dayak terdiri atas: (1) kepemilikan “seko menyeko” atau kepemilikan perseorangan; (2) kepemilikan “parene’ant” yang merupakan tanah warisan yang dengan segala izinnya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan; (3) kepemilikan “saradangan” yang merupakan kepemilikan oleh suatu kampung; (4) kepemilikan “binua” yaitu kepemilikan atas tanah oleh beberapa kampung sartuan wilayah hukum adat ketemanggungan.
Konsep tanah ulayat atau tanah komunal juga dikenal di Bali dengan sebutan “tanah duwe” yang merupakan milik “desa pakraman” atau desa adat di Bali, dan tanah “pelaba pura” yang berfungsi untuk membiayai keberlanjutan tempat suci pura (Sedjati dkk., 2002; juga dalam Syahyuti, 2006). Demikian pula di Papua, tanah diibaratkan sebagai “ibu kandung” yang memberikan kehidupan kepada anak-anaknya. Puncak gunung dipercayai sebagai penjelmaan “ninggok” yakni kepala sang ibu yang memiliki segala kearifan, dan oleh karena itu puncak gunung diyakini sebagai kawasan suci yang tidak boleh dirusak atau dicemari. Selain nilai ekonomi, tanah juga memiliki nilai kultural-spiritual dengan sistem kepemilikan yang berbentuk komunal. Kepemilikan tanah di Papua berkaitan dengan keberadaan serta penguasaan suatu etnik atas wilayah tertentu (Anonimous, 2006; juga dalam Malik, 2003:123-124).
Menurut Ruwiastuti (1996:5), hak ulayat yang dimiliki masyarakat adat merupakan sebuah konsep yang dalam kepustakaan hukum adat dikenal dengan sebutan beschikkingrecht (beschikken artinya menguasai). Istilah ini kemudian diambil alih begitu saja oleh Pembuat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) untuk dijadikan sebagai konsep umum, karena diyakini bahwa semua persekutuan masyarakat di seluruh Indonesia pasti memiliki makna yang sama. Demikian pula Wamebu (1996:1) menegaskan bahwa istilah beschikkingrecht yang kini disejajarkan dengan istilah hak ulayat tersebut merupakan istilah yang diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Van Vollenhoven yang banyak menulis tentang persekutuan-persekutuan adat di Nusantara. Van Vollenhoven mengartikan istilah beschikkingrecht sebagai “hak menguasai tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dan anggota-anggotanya”.


Hukum Adat Pertanahan: Peran Sentral Masyarakat Adat
 Berbicara tentang hak-hak komunal yang disebut sebagai hak ulayat itu, tidak akan mungkin lepas dari persoalan masyarakat adat. AMAN (dalam Simarmata, 2007) maupun WALHI (dalam Arimbi, 1997) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah sendiri. Dengan demikian, suatu kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat adat jika kelompok tersebut memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan penghi-dupannya, yang terbentuk karena interaksi yang terus-menerus di dalam kelompok tersebut, dan memiliki wilayah teritori sendiri di mana sistem-ssistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku. Definisi tersebut minimal memberikan batasan yang tegas untuk membedakan masyarakat adat dengan masyarakat lokal maupun dengan masyarakat pada umumnya.
Konsep masyarakat adat yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa sebuah kelompok masyarakat adat tidak selamanya berasal dari satu turunan tunggal atau satu suku sebagai sebuah persekutuan genealogis. Penyempitan konsep yang demikian itu sebagaimana pernah dirumuskan dalam Simposium Terbatas tentang Persoalan Tanah Suku di NTT pada tahun 1972. Simposium tersebut merumuskan, bahwa masyarakat adat sebagaƀ sebuah persekutuan suku yang bersifat genealogis dengan persyaratan: (1) harus ada wilayah persekutuan dengan batas-batas yang jelas; (2) harus ada anggota persekutuan genealogis; (3) harus ada struktur pemerintahan suku atau kepengurusan suku; (4) harus ada aturan-aturan suku yang mengikat. Bertolak dari konsep yang sempit ini Simposium ini lalu berkesimpulan bahwa di NTT sudah tidak ada tanah suku (tanah ulayat) karena telah terjadi proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga keberadaan suku sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai sebuah persekutuan genealogis (Kopong Medan, 2006: 133-132; juga dalam Lazar, 2002).
Sebagai persekutuan yang memiliki sistem kehidupan dan wilayah teritori sendiri, masyarakat adat jelas memiliki tatanan hukum sendiri dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria  yang mencakup tanah, hutan, laut, dan lingkungan hidupnya untuk menopang keberlangsungan kehidupan seluruh warga masyarakat adat. Mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan oleh Wirutomo (1981:99), Kartasapoetra dan Kreimers (1987:33), dan Suhardono (1994:7) dapatlah dirumuskan, bahwa: (1) peran yang dimainkan oleh masyarakat adat itu merupakan seperangkat harapan yang dikenakan kepadanya untuk mengatur penguasaan dan pengelolaan tanah hak ulayat di wilayah teritorinya; (2) peran yang dimainkan oleh masyarakat adat itu merupakan bentuk perwujudan hak dan kewajibannya dalam menentukan bagaimana langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang harus diambil dalam mengatur penguasaan dan pengelolaan tanah hak ulayat di dalam wilayah teritorinya; (3)  peran yang dimainkan oleh masyarakat adat merupakan aspek dinamis dari kedudukan atau statusnya sebagai pengatur penguasaan dan pengelolaan tanah hak ulayat di wilayah teritorinya, dan itu berarti status atau kedudukan masyarakat adat baru bisa berfungsi andaikata peran yang diembannya sudah bisa dijalankan dengan baik.
Dengan demikian, jelaslah bahwa salah satu peran utama yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah mengatur dan mendistribusikan penguasaan dan pengelolaan tanah hak ulayat di wilayah otoritasnya. Dari hasil penelusuran terhadap hukum adat pertanahan, Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Bushar (1988) dan Syahyuti (2006:18) berhasil menetapkan sejumlah kriteria tentang pola penguasaan dan pengelolaan tanah hak ulayat (beschikkingrecht) sebagai berikut:
(1)       Tiap anggota dalam persekutuan adat (etnik, sub-etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru;
(2)       Bagi orang di luar anggota persekutuan adat yang mengerjakan tanah ulayat harus dengan seizin persekutuan adat (= Dewan Pimpinan Adat);
(3)       Bagi anggota persekutuan adat yang mengerjakan tanah ulayat mempunyai hak yang sama, tapi bagi yang bukan anggota persekutuan adat diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir, dan lain-lain) atau menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon);
(4)       Persekutuan adat sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang;
(5)       Persekutuan adat bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya;
(6)       Persekutuan adat tidak dapat memindahtangankan hak penguasaan kepada orang lain;
(7)       Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa.
Pendapat Van Vollenhoven tersebut hampir sejalan dengan sistematika berlakunya hak ulayat yang dibuat oleh Ter Haar (1985) dalam Syahyuti (2006:18-19):
a.        Anggota masyarakat adat bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya;
b.        Untuk keperluan sendiri anggota masyarakat adat berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki  dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya;
c.        Anggota masyarakat adat mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat adat. Hubungan hukum antara orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat andaikata tanah tersebut terus-menerus dipelihara/ digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik. Demikian pula sebaliknya, apabila tanah yang dibuka tersebut tidak diurus atau ditelantarkan, maka tanah tersebut akan kembali menjadi tanah masyarakat adat. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku.
d.        Berdasarkan kesepakatan masyarakat adat setempat, dapat ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
e.        Anggota suku lain tidak diperbolehkan mengambil manfaat di daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum adat, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin tersebut bersifat sementara (misalnya selama musim panen), dan itu berarti suku lain tidak diperkenankan mempunyai hak milik atas tanah tersebut.
Kasus di NTT: Posisi Masyarakat Adat Tereliminasi
Uraian berikut ini mencoba menampilkan sebuah persoalan krusial yang dihadapi oleh masyarakat NTT, berkenaan eksistensi masyarakat adat dan hak keulayatan yang terleminasi oleh ketentuan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 8 Tahun 1974. PERDA ini dinilai sangat kontroversial, karena sengaja mengeliminasi hak-hak substansial masyarakat  adat terhadap tanah ulayat, bahwa:  “Tanah bekas penguasaan masyarakat adat dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah penguasaan pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Kepala Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Dengan adanya substansi PERDA yang demikian itu, maka jelas posisi masyarakat adat semakin terpinggirkan secara yuridis, pada hal secara faktual eksistensi kelompok masyarakat adat ini masih diakui hingga saat ini.
Atas dasar kebijakan hukum itulah maka Pemerintah Daerah secara lebih leluasa mengambil alih hak-hak masyarakat adat atas tanah yang dikuasainya secara turun-temurun selama ini. ELSAM (dalam Justitia, 1998:7) melaporkan, bahwa ada banyak kasus “pengambilalihan” tanah-tanah masyarakat adat oleh pemerintah untuk kepentingan  pembangunan kegiatan ekonomi kapitalistik seperti yang dialami oleh masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Lahan pertanian masyarakat adat di Lodang kabupaten Sikka harus  diambilalih pemerintah untuk pengembangan hutan lindung dan reboisasi.
Demikian pula masyarakat Sambinasi Riung Kabupaten Ngada terpaksa “memohon” kepada Dinas Kehutanan  untuk menggunakan tanahnya sendiri karena terlanjur dikuasai oleh pemerintah untuk perluasan hutan lindung dan reboisasi. Pengalaman yang hampir senada juga dialami  oleh masyarakat Pantai Kelapa di Kupang Barat, karena Pemerintah Daerah secara sepihak menentukan lokasi pembangunan kawasan industri demi kepentingan sebuah perusahaan negara yang bergerak di bidang perminyakan. Hal yang sama terjadi belakangan ini, terutama kasus tambang emas di Manggarai Barat dan Kabupaten Lembata yang kemudian menimbulkan protes hingga saat ini.
Perda No. 8 Tahun 1974 yang  tetap dipertahankan berlaku hingga kini oleh pemerintah daerah setempat, ternyata dari segi substansi justru mengingkari kondisi NTT yang sesungguhnya yang masih kuat mengakui keberadaan masyarakat adat. Rumusan pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa “tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah penguasaan pemerintah daerah cq Gubernur Kepala Daerah”. Formulasi hukum yang demikian jelas menggambarkan bahwa eksistensi masyarakat adat di NTT sudah tidak diakui lagi, atau dengan kata lain “masyarakat adat di Propinsi ini sudah tidak ada lagi”. Pertanyaannya ialah apakah benar sudah tidak ada lagi masyarakat adat yang menghuni  Propinsi “Flobamora”  ini?
Bahkan, dalam pasal 2 Ayat (2) Perda ini dirumuskan pula bahwa “setiap orang atau badan hukum yang menguasai tanah-tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, perlu memiliki bukti penegasan hak atas tanah”. Pengaturan yang demikian mengindikasikan bahwa pemerintah hanya mau mengakui tanah-tanah suku yang bersertifikat. Pada hal kondisi riil menunjukan bahwa masyarakat NTT masih kuat menganut tradisi lokal yang berkaitan dengan pengakuan dan penentuan batas-batas tanah. Sejak dahulu kala masyarakat Indonesia pada umumnya  dan masyarakat NTT khususnya tidak pernah mengenal pembuktian kepemilikan dan batas-batas tanah dengan sertifikat.
Sekedar contoh, jauh sebelum berlakunya UUPA masyarakat Lamaholot di Adonara-Flores Timur justru masih kuat mengakui penegasan dan penentuan batas-batas tanah menurut tradisi setempat. Kelompok masyarakat ini dapat melakukannya melalui  upacara ritual adat  pema-sangan: neke noa” atau garis batas, mula keba kebelun atau menanam kayu pembatas, dan meriken belota atau menyusun tumpukan batu pembatas (Kopong Medan dalam Pos Kupang, 1997).
Jika  dicermati lebih jauh secara historis, akan dike-tahui bahwa Perda tersebut justru mempedomani hasil  “rekayasa” simposium terbatas tentang prsoalan tanah suku di NTT pada tahun 1972. Simposium tersebut berkesimpulan bahwa “sudah tidak ada lagi tanah suku di NTT”. Kesimpulan itu bertolak dari anggapan bahwa di NTT telah terjadi proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan genealogis. Itulah sebabnya, suatu pertanyaan kritis yang pantas diajukan di sini adalah “benarkah kesimpulan simposium yang dirujuk oleh para pembuat kebijakan hukum di daerah tersebut menggambarkan keadaan NTT yang sesungguhnya?
Suatu langkah yang sangat keliru jika perda tersebut dibuat hanya berdasarkan hasil simposium terbatas tentang persoalan-persoalan tanah suku pada bulan  Mei 1972 yang lalu. Sesungguhnya para pembuat kebijakan tersebut harus terlebih dahulu menyelami kondisi riil masyarakat NTT melalui suatu studi yang mendalam. Rahardjo (1991:208) mengisyaratkan bahwa, sebagai seorang perekayasa hukum yang baik dan bertanggung jawab minimal “harus mengenal problem yang dihadapi masyarakat dengan sebaik-baiknya dan harus memahami pula nilai-nilai yang dianutnya”.  Justru karena tidak diketahui secara persis atau “sengaja” tidak mau tahu tentang kondisi riil NTT itulah yang menyebabkan akhir-akhir ini terjadi banyak protes dari masyarakat adat, karena mereka merasa haknya dicaplok atau diambilalih oleh pemerintah begitu saja.
Banyak studi-studi sosiologis maupun antropologis selama ini justru menegasi hasil simposium tahun 1972 tersebut. Realitas yang ditemukan di masyarakat ternyata bertentangan dengan hasil simposium tahun 1972 tersebut. Sebuah realitas yang tak bisa dipungkiri ialah  bahwa di berbagai daerah di NTT seperti di Timor, Alor, Flores, Sumba, Timor, Sabu dan Rote, serta  beberapa kepulauan kecil lain masih ada kelompok masyarakat adat yang masih eksis dan masih mendapatkan pengakuan dari warganya (Baca misalanya dalam Tanya, 1993).
Menurut catatan Liliweri (1993:104), di NTT terdapat sekitar 75 etnis atau sekitar 500-an sub-etnis yang tersebat di seluruh kepulauan Flores, Timor, Alor, Sumba, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil lainnya. Kelompok-kelompok etnis tersebut dengan kekhasannya masing-masing telah membentuk perkesekutuan-persekutuan adatnya. Secara garis besar persekutuan-persekutuan adat itu seperti: Atoni Meto di Timor, Lamaholot di Flores Timur, Lembata dan sebagian di Alor Pantar, Tara Gahar Tayo Mosan di Kabupaten Sikka, dan lain-lain.
Di dalam persekutuan-persekutuan adat yang besar tersebut masih dapat dipilah ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, baik yang bersifat genealogis maupun teritorial. Sekedar contoh, di dalam persekutuan adat Lamaholot, terdapat kelompok suku yang bergabung membentuk Lewotana (Kampung) di Ile Ape Lembata dengan nama Watun Lewo Pito. Kelompok suku pendiri kampung Watun Lewo Pito tersebut kemudian membentuk sebuah struktur pemerintahan adat dengan unssur-unsur sebagai berikut:  (1) Lewotana Alawen bertindak sebagai pelindung, penasihat, dan menguasai wilayah daratan, (2) Taran Mekin, tertugas memerintah dan menguasai wilayah laut di bagian timur kampung, (3) Taran Wanan, tertugas memerintah dan menguasai wilayah laut di bagian barat kampung; (4) Kapitan Lake, bertindak sebagai pasukan pengamanan kampung dari serangan musuh, terutama melakukan pertempuran melawan musuh; (5) Kapitan Wae,  juga bertindak sebagai pasukan pengamanan kampung dari serangan musuh, terutama mengamankan pintu-pintu masuk kampung; (6) Ikun, bertindak sebagai penghubung, memperlancar urusan  antar kampung (Kopong Medan dkk, 2005:84-87). Sekalipun struktur pemerintahan modern sudah ada, namun dalam praktik sehari-hari struktu pemerintahan adat masih eksis dan  tetap diperhatikan oleh pemerintahan modern
Sekalipun kelompok masyarakat adat dan hak ulayat itu masih ada dan diakui keberadaannya, namun sangat disayangkan selang sepuluh tahun berlakunya Perda Nomor 8 Tahun 1974 yaitu tepatnya tahun 1984, kebijakan hukum dalam bidang pertanahan yang sungguh merugikan masyarakat adat di NTT itu kemudian dikukuhkan pemberlakuannya dengan Instruksi Gubernur KDH Tingkat I NTT bernomor 3/PEM-UM/1984. Instruksi Gubernur tersebut  melarang setiap orang, badan hukum dan lemabaga-lembaga kemasyarakatan (termasuk kelompok masyarakat adat) untuk membagi tanah-tanah bekas tanah suku dan menginventarisasi tanah-tanah kosong yang ditelantarkan masyarakat.
Quo Vadis Masyarakat adat dan Hak Ulayat?
Sekarang negara, dalam hal ini BPN memiliki peran yang sangat strategis dalam memaksimalkan fungsi tanah sebagai sarana vital dalam mewujudkan keadilan dan kesejahetaraan rakyat melalui kebijakan land reform dan sebagainya. Di sisi yang lain, sekalipun keberadaan masyarakat adat itu semakin tereliminasi secara yuridis, termasuk dengan adanya “pengakuan bersyarat” yang diberikan oleh hukum negara, namun secara sosiologis keberadaan mereka masih tetap diakui hingga kini. Kontroversi antara kekuatan yuridis dengan kekuatan sosiologis seperti itulah yang kemudian memunculkan pertanyaan: “quo vadis masyarakat adat beserta hak ulayatnya” itu?
Kalau kondisinya sudah seperti itu, maka perlu dipikirkan langkah-langkah strategis yang harus ditempuh untuk memperkuat eksistensi masyarakat adat. Langkah yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan penguatan kepada masyarakat adat dalam memainkan peran kolaboratif bersama negara. Langkah ini mengharuskan agar peran-peran yang dimainkan oleh masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan tanah dan berbagai sumberdaya alam lainnya seimbang dengan peran yang dimainkan oleh negara.
Itu berarti, masyarakat adat juga harus diberi ruang yang luas ikut serta bersama-sama negara dalam memaksimalkan fungsi tanah dan sumberdaya alam lainnya sebagai sarana vital  untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Jika model pengelolaan kolaboratif ini yang dipilih, maka negara dapat bersama-sama dengan masyarakat adat mengupayakan agar hamparan tanah kosong milik masyarakat adat – yang sering disebut sebagai “tanah tak bertuan” -  itu dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan warga masyarakat yang membutuhkan.
Model pengelolaan kolaboratif ini juga sangat ideal untuk mengelola lahan-lahan potensial yang dianggap vital oleh negara. Selama ini yang terjadi adalah, lahan-lahan yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang bernilai tinggi, diambil-alih begitu saja oleh negara dengan penggantian kerugian seadanya. Sementara warga masyarakat adat yang berada di sekitar sumberdaya alam tersebut hanya menjadi penonton menyaksikan harta karun yang sesungguhnya adalah miliknya dikeruk habis dan dibawah keluar tanpa ada sisa. Andaikan model pengelolaan ini dikembangkan, maka bukan suatu hal yang mustahil kalau mereka juga mendapatkan bagian dari pengelolaan oleh negara bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan untuk itu. Bukankah potensi sumberdaya alam yang mereka miliki bisa menjadi “saham” dalam pengelolaan kolaboratif itu?
Catatan Penutup
Demikian pemikiran segenggam ini saya sampaikan dalam forum ini untuk kita diskusikan lebih lanjut. Saya sadari bahwa tulisan ini masih bersifat umum, belum menukik secara tajam dalam membahas secara khusus dan mendetail tentang perspektif hukum adat di NTT dalam melihat tanah sebagai sarana perwujudan kesejahteraan rakyat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan referensi yang memungkinkan saya mengeksplorasi seluruh hukum adat yang tersebar di seluruh NTT. Tapi, mudah-mudahan apa yang termuat dalam makalah singkat ini dapat merangsang terciptanya sebuah diskusi yang lebih mendalam dan komprehensif.+++

[1]Disampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat di Nusa Tenggara Timur”, yang diselenggarakan oleh FISIP UNDANA pada tanggal 30 Nopember 2010.
[2]Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang sejak 1990 sampai sekarang.